Oleh : Ngatemin
Rosok
Sumber
gambar : Harian Jogja
Harapan dari
segelintir orang yang dapat dikatakan kelas bawah, jangankan sebuah rumah yang
layak huni apalagi kendaraan yang sering disebut-sebut orang golongan atas
sebagai mobil mewah, harapan untuk memiliki KTP atau sebuah pengakuan bahwa
dirinya merupakan masyarakat yang memiliki status, dirasa sangat sulit apalagi
jika tempat tinggalnya di bawah kolong jembatan, yang disebut Iwan Simatupang
sebagai RT 0, RW 0. Keinginan untuk hidup layak, punya status kependudukan seperti
masyarakat pada umumnya. Untuk makan sehari-hari kadang tidak ada, yang ada
hanyalah khayalan-khayalan untuk mendapatkan makanan yang enak seperti yang
disampaikan oleh Kakek dan Pincang
KAKEK : (Nada
Kelakar) Nasi putih sepiring…
PINCANG (Idem)
: Sepotong daging rendang, bumbunya kental berminyak-minyak…
KAKEK : Telor
balado…
PINCANG : Teh
manis panas segelas penuh…
KAKEK : Dan
sebagai penutup: sebuah pisang raja…
PINCANG : Warnanya
kuning keemas-emasan…
Sebuah kelakar 2
orang gelandangan si Kakek yang seorang mantan kelasi (ABK) bersama si Pincang
yang berangan-angan menjadi pengarang, ketika si Ani dan adiknya Ina yang
seorang PSK akan berangkat bertugas dengan harapan sepulang bertugas Ani dapat
membawakan makanan itu untuk mereka. Begitulah untuk hanya sekedar mendapatkan
makanan dia rela untuk melakukan apa saja.
ANI (Selesai
Mengenakan Bajunya) : Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam
ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini. Ya,
malam ini juga!
Berbeda dengan si
Kakek yang hanya terus-terusan berkhayal tentang makanan itu dan masa kecilnya
yang dimanja.
KAKEK : Kini, kau dengar baik-baik. Puntung
rokokmu yang kuhisap tadi siang, itu bisa aku lupa. Tapi, bagaimana aku bisa
melupakan nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? Tidak bisa, nak. Sama
seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang kanak-kanakku dulu; melupakan bubur
merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya padaku sehabis aku
sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi, kemudian melenakan aku
tidur dengan cerita-cerita wayang, tentang Gatotkaca yang perkasa, tentang Dewi
Sinta, tentang…
Berkhayal tentang
keindahan masa lalu yang seakan-akan selalu dirasakan sampai saat tuanya,
walaupun dalam keadaan sebagai seorang gelandangan sebagai pengantar tidurnya,
sekalipun ia diingatkan untuk berhenti berkhayal tetap menolaknya.
KAKEK
(Tertawa, Sambil Menekan Kuapnya) : Ah, tidak. Aku seolah kembali merasakan
kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah
sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang
senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan.
Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah
diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri.
Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan
ini?
Sebuah pertanyaan
yang sangat mendalam yang ditujukan kepada si Pincang, Namun bukan sekedar itu
yang dimaksud Iwan Simatupang. Sebuah awalan yang mengajak kita sebagai
penikmat untuk introspeksi diri, jauh melihat jati diri kita. Apakah kita akan
terlena oleh sebuah kebanggaan masa lalu kita?.... Kesombongan yang selalu
menyertai diri kita, atau gengsi yang menjadi kebanggaan kita, yang membawa
diri kita lupa bahwa diri kita adalah makhluk yang hina di hadapan Tuhan.
Mampukah diri kita untuk merendahkan diri serendah-rendahnya dalam do’a kita,
dalam sujud kita, ataukah kecongkakan yang kita tunjukkan pada Dzat yang
memiliki segalanya?.... Di satu sisi ketika kita dihadapkan pada kenyataan
hidup, dengan kesombongan kita tidak akan mampu menghadapi realita, terlalu
berangan-angan tinggi sehingga tidak ada yang mampu dikerjakan.
PINCANG : Semua
persoalan ini tak bakal ada, bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua
kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang
hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat
kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
Jika sudah
demikian, kita enggan untuk bekerja dalam arti yang sebenarnya. Dalam artian
ketika kita mendapat upah atau keuntungan benar-benar dari usaha kita berpikir,
peras keringat, banting tulang, bukan dari hasil mengemis. Jika si Pincang
mengemis memakai batok kotor yang di tengadahkan, itu hanya sarana untuk
masyarakat kelas bawah, untuk masyarakat kelas atas mungkin peci, dasi, kursi
atau jas/safari bisa juga sebagai sarana. Masyarakat memiliki penilaian
tersendiri tentang itu. Kecenderungan masyarakat akan menilia dari sisi luarnya
sehingga kita gampang untuk membedakan antara pengemis kelas atas atau pengemis
kelas bawah. Masyarakat kelas bawah akan sulit untuk mendapat pekerjaan karena
penilaian sisi luar tersebut.
PINCANG : Tampang
kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah
yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini
juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang
berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap
yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah
ini?
Jika sudah
demikian halnya kecenderungan kita adalah menyerah......... Kembali lagi pada
angan-angan yang tinggi, menerawang jauh tanpa ada tindakan berarti.
PINCANG: Dunia
gelandangan adalah suatu lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian
keker, kian angker juga. Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita,
hanyalah kebetulan dan nasib baik saja.
KAKEK : Menanti-nantikan
datangnya kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari
di kolong jembatan ini.
Jika yang
diharapkan hanyalah sebuah kebetulan dan nasib baik, apalah bedanya diri kita
dengan gelandangan. Mengharap belas kasihan orang lain. Jika kita menyadari hal
itu masih berselerakah kita untuk memakan makanan yang enak, jika makanan itu
merupakan belas kasihan dari orang lain? Atau pemberian dari seorang sahabat
yang akan meninggalkan kita? Seperti si Kakek yang menerima nasi rames dari
Bopeng yang akan meninggalkannya.
KAKEK
(Menunjuk Bopeng) : Dia ini tadi diterima sebagai kelasi kapal. Sudah lama
dia melamar, tapi baru hari ini rupanya berhasil. Dan tadi, dia menerima
persekot. Artinya, sebagian pembayaran dimuka. Itu lazim di kapal. Dan (Menelan
Ludahnya) dari uang persekotnya itu, dibelikannya kami rames-rames ini. (Hampir
Menangis) Jelaskah sudah soalnya bagi kau?
KAKEK
BERDIRI TERHUYUNG-HUYUNG. NASI RAMESNYA TAK DAPAT DIMAKANNYA TERUS.
KERONGKONGANNYA SERASA TERSUMBAT. DIBUNGKUSNYA KEMBALI NASI ITU, LALU PERGI
MENJAUH KESEBELAH YANG LEBIH GELAPAN DARI KOLONG JEMBATAN.
Mendapatkan
sebuah pekerjaan bukanlah sesuatu penyelesaian akhir dari “Gelandangan”,
masalah demi masalah akan selalu kita terima yang pada akhirnya menentukan
kedewasaan kita dalam bertindak dan memutuskan segala sesuatu. Bahkan sebelum
bekerja Bopeng bermaksud menolong Ati seorang pengantin baru yang ditipu
suaminya dan di tinggalkannya di kapal, ingin ikut Bopeng kemanapun dia
berlayar.
Disinilah
dibutuhkan sebuah ketegasan dalam bertindak. Jika rasa belas kasihan terus
menerus ada pada dirinya tentulah Bopeng akan membawa Ati berlayar dengan
resiko jika ketahuan dia akan dipecat. Bopeng tidak menginginkan itu, seperti
halnya kita, jika kita selalu berpikir belas kasihan pada orang lain yang
berkaitan dengan pekerjaan kita, rasanya bukan pada tempatnya.
Coba kita
bayangkan jika seorang tentara sangat besar rasa belas kasihannya dalam
berperang, sama halnya dengan bunuh diri. Atau seorang Hakim untuk memutus
perkara berdasar rasa belas kasihan, mungkin Anggelina Sondakh akan di vonis
bebas oleh Pak Artijo Alkostar, akan tetapi bukan pengurangan vonis tapi
melipatgandakan vonis berdasar hukum yang berlaku.
Sebuah prinsip
Bopeng dalam memegang teguh aturan secara Profesional sebagai seorang kelasi.
Atau jika tidak akan kembali menjadi seorang pengkhayal atau “Gelandangan”
BOPENG
(Menggeleng-Gelengkan Kepalanya) : Orang yang dalam hidupnya telah sekian
lama menjadi manusia gelandangan seperti aku ini, taklah semudah itu
menginginkan kembalinya ia kedunia gelandangannya itu apabila ia sekali telah
sempat berhasil meninggalkannya. Kau tak tahu, apa artinya gelandangan.
Keberhasilan
orang lain mungkin merupakan sebuah Inspirasi sekaligus motivasi bagi kita untuk
bangkit dengan berprinsip “Jika orang lain bisa, saya pasti bisa”, dengan
demikian muncul semangat pada diri untuk memaksimalkan ide yang selama ini
terbelenggu. Dengan kesuksesan ada kalanya orang juga bisa lupa diri,
terjerumus ke hal-hal maksiat dan tidak mau menerima saran atau sindiran orang
lain, sehingga sebuah kesuksesan tidak mungkin tanpa adanya bantuan dari orang
lain.
Sebagai seorang
sahabat Pincang tidak membiarkan Bopeng salah dalam melangkah sekalipun harus
berkelahi dengannya.
PINCANG : Kalau
maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa
boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok
memang untuk kelasi. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau
benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi
martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau:
(Berteriak)
Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo
ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan
sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah
terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong
baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau
lakukan terhadapnya.
BOPENG
TERPESONA, DAN KAGUM, ATAS LAKU YANG TAK DIDUGANYA DARI PINCANG INI. IA
TERDIAM, DAN TERUS SAJA DUDUK DI TEMPATNYA.
Untuk memberikan
saran kepada orang lain mungkin bagi kita mudah, akan tetapi kita sering lupa
apakah kita sudah bisa memberikan saran buat diri kita sendiri. Sudahkah kita
introspeksi diri.
PINCANG : Apakah
Adik tak bisa berbuat apa-apa sedikit dengan rasa harga diri Adik yang luber
itu, dan tidak begitu keberatan terhadap usul saya, agar sebaiknya Adik pulang
saja kesaudara Adik di kampung?
ATI (Menghapus
Airmatanya) : Kalaulah aku boleh bertanya: Abang sendiri, ya kalian semuanya
yang di sini, mengapa kalian tak pulang saja kekampung kalian?
PINCANG
TERDIAM. LAMA IA BERTUKAR PANDANGAN DENGAN BOPENG.
BOPENG
(Merenung) : Yah, mengapa kita sendiri tak pulang saja kekampung kita
masing-masing?
Kesuksesan Bopeng
rupanya juga dibarengi dengan Ani dan adiknya Ina, walaupun harus menikah
dengan lelaki tua langganannya. Itu berarti akan bertambah lagi orang yang akan
meninggalkan si Kakek. Walaupun dibawakan nasi rames kesukaanya terasa enggan
Kakek untuk memakannya. Kenapa orang selalu memikirkan diri sendiri, tidak mau
berpikir terhadap apa yang akan terjadi pada orang lain. Seakan-akan ego yang
selalu membelenggu seseorang yang disebut “Gelandangan”
KAKEK : Kelengangan
disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian sendiri. Mengapa
pula kita, manusia-manusia gelandangan, berbuat seolah tak mengerti hal itu?
Bukan masalah
bagi Ani dan Ina menikah dengan siapapun karena dengan demikian mereka segera
memiliki status dan ber-KTP, walaupun lelaki yang menjadi suaminya belum tentu
mereka cintai. Sebuah KTP atau pengakuan yang selalu didambakan bukan hanya
seorang PSK tapi kita sebagai manusia selalu menginginkan keberadaan kita
diakui oleh orang lain. Siapakah diri kita yang selalu kita cari dari kecil
yang sering kita mengistilahkannya dengan “JATI DIRI”
INA : Dan
aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan
sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam
pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan
tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!
HENING.
SEMUANYA TERKESAN DAN TERHARU.
Iwan Simatupang
menegaskan sekali lagi pada kita tentang sebuah harapan dari angan-angan kosong.
Bahwa kesemuanya itu tiada artinya dan hanya menyeret kita pada lembah-lembah
kenistaan, menjadi golongan orang orang yang tidak berguna, mencambuk kita
untuk bangkit dari keterpurukan kita yang mungkin kita kurang menyadarinya.
Iwan simatupang
menyampaikan pada dialog yang di sampaikan Ina kepada Pincang yang dicintai
sebagai kalimat perpisahannya. Ibarat cambuk yang di hantamkan Kusir delman
kepada kudanya. Semakin keras cambukan semakin kencang lari kudanya, walaupun
mungkin kuda tersebut merasa kesakitan.
INA : Abang
selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita
dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh
ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku
memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan
kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain.
Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang (Suara Batuk-Batuk Kakek),
melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua
yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling
bahagia di dunia ini.
Tapi,
dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua
ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri
Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang
gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan
asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula
masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan
diri Abang sebagai seorang pengarang.
Tapi, alangkah kecewanya aku melihat,
betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu
dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di
kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh
pengarang pada diri Abang itu.
Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu
oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu
lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku
Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit…
Dan bila
aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu
aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum
kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih
gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan.
Bukannya aku tak sadar, apa
dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan
isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak
menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang
sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah.
Tapi, itu
semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu
penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala
yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat
polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka
keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman
latihan kerja untuk kaum tuna karya”.
Gambar kita di atas truk terbuka itu
dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai
penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya
berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat
seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa
nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat
dingin.
Dialog yang
lumayan panjang. Jika kita benar2 terbawa pada alur cerita dari awal disinilah
kita temukan Roh dari RT 0 RW 0. Ungkapan Iwan Simatupang yang di mandatkan
pada Ina tersebut sebenarnya merupakan pengulangan dari dialog yang sudah
disampaikan aktor lain sebelumnya, akan tetapi dengan pengulangan itulah kita
bisa semakin mantap dalam menghayati makna dari “nasi rames” yang tak pernah mereka
nikmati atau “KTP” yang selalu mereka damba-dambakan, begitu mendapatkan suatu
kesempatan segera mereka raih kesempatan itu demi sebuah kesuksesan dan jati
diri.
Dengan demikian seseorang
yang sudah terjerumus ke dunia “Gelandangan” dan berhasil keluar, tak akan
pernah menginginkan seorangpun untuk menjadi seperti dirinya. Sebuah pesan
moral yang sarat makna bahwa jika kita meraih kesuksesan, apa yang bisa kita
perbuat dengan kesuksesan kita terhadap orang lain?.. Diamkah diri kita melihat
sekian banyak orang yang belum bisa meraih kesuksesan jungkir-balik serta
pontang-panting kesana kemari bahkan tak jarang yang salah jalan dan terjerumus
di lembah kegelapan?
INA : Dan
akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh
aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang
di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan
ini.
Dik, besok
pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. (Dibukanya Sapu Tangannya) Nih,
ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di
jalan, cukup jugalah. (Ati Menerimanya) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat
kau menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat
lagi melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya.
BOPENG
(Tersadar) : Ya, dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu,
maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos
buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. (Mengambil Uang Dari
Sakunya, Diberinya Pada Si Pincang) Nih, sisa persekotku tadi. (Tertawa)
Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang.
Semua Agama
selalu mengajarkan tentang kebaikan terlebih ajaran untuk mengasihi sesama.
Kesuksesan yang besar tidak akan mungkin terlepas dari apa yang telah diberikan
seseorang kepada orang lain baik secara materi ataupun immateri.
Orang yang sukses
di dalam hidupnya tak terlepas seberapa banyak Sedekah yang telah ia berikan
pada orang lain tanpa adanya pamrih dibalik semua itu.
Kita dituntut
untuk sadar diri ketika sudah diatas kita tidak sepantasnya untuk lupa
bahwasanya masih banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah, Apa yang
mereka mampu lakukan buat Pincang yang belum mendapatkan apa yang diinginkannya
dan masih berasyik-asyik dengan ke”gelandangan”nya?
KAKEK : Alaa,
masih ingat kau kata-kata Ina tadi untuk kau? Nah, kukira sudah tiba saatnya
bagimu kini, terlebih pada usiamu yang begini, untuk mencamkannya baik-baik.
Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu
yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia
nongol di hadapanmu.
Berbuatlah!
Bertindaklah! Bukankah begitu kata Ina tadi? Jadi, besok pagi, subuh, kau
bersama dia ini kestasiun kereta api. Antar dia baik-baik sampai di rumah orang
tuanya. Selebihnya, mainkanlah perananmu sebaik-baiknya, seperti yang telah
kita goreskan tadi.
Kalau kau
belum apa-apa bakal ditendang oleh bakal mertuamu dari sana, maka benar-benar
patokkanlah sejak itu dalam kepalamu: Nasibmu, kawan, untuk selama-lamanya
bakal runyam! Dan ini adalah sebagian besar karena salahmu sendiri.
Malaikat-malaikatpun kukira takkan dapat lagi menolongmu.
PINCANG
NAMPAK BINGUNG OLEH KATA KAKEK TADI. TAMPAKNYA IA INGIN MERONTA, TAPI LAMBAT
LAUN KATA-KATA KAKEK ITU MERESAP JUGA KEDALAM SANUBARINYA.
Sebuah keputusan
yang sulit yang harus diambil Pincang yang akhirnya bersedia mengabdikan diri
sebagai buruh tani didesa, setelah hatinya hancur setelah Ina, wanita yang
dicintai meninggalkan dirinya demi mendapatkan KTP rela menikah dengan Tukang
Becak langganannya.
KAKEK (Setelah
Lama Hening) : Kukira, malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan
kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur.
Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat. Malam telah larut juga,
sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang
jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar.
Mari kita
mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak
terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya. (Menguap Panjang)
Selamat beristirahat!
(Menjentik
Bopeng Di Lengannya) Sstt, biarkan mereka. Kita kesana saja… (Menunjuk Dengan
Wajahnya Kepojok Kolong Jembatan Sebelah Sana)
BOPENG
(Mengerti Tertawa)
Oh, ya. Eh,
mengapa aku begitu bodoh.
ATI
MALU-MALU TERSIPU. MALU-MALU KUCING. TIBA-TIBA PINCANG TEGAK LURUS, SIKAPNYA
SEPERTI MAU BERONTAK.
Olok-olok yang
ditujukan kepada Pincang untuk berduaan dengan Ati. Untuk sekiankalinya Iwan
Simatupang ingin menyajikan sebuah tuntunan yang tidak hanya sekedar tontonan
yang membosankan, selingan humor yang berkelas yang dapat memojokkan diri kita
ataupun kritik terhadap pemerintah menjadikan suasana yang menyegarkan, demi
mengurangi kekurang mampuan nalar maupun rasa kita dalam mencerna muatan-muatan
filosofi naskah ini.
Kembali beliau
melakukan penguatan-penguatan terhadap intisari RT 0 RW 0. Sebuah benang merah
yang dapat ditarik bagi yang bisa masuk pada dimensi Kesenimanan Iwan
Simatupang atau bahkan yang hanya paham dari sisi luarnya saja.
PINCANG
(Suaranya Meninggi) : Baik! Bila benarlah kalian mengkhendaki aku memulai
hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan! Mengapa kalian tak
memperbolehkan aku memulainya dengan baik?
PINCANG : Ya,
aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih.
Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon
menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap
begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai
menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah
ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan.
Ya, aku
ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali
kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya
matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu
adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah,
hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan
itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur…
setidaknya untuk sementara dulu.
Aku ingin
mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu…
entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri.
Aku harap, Ati maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka
persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu.
Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang
baik kembali. (Suaranya Turun, Nafasnya Satu-Satu) Sudah tentu, sudah tentu…
kalian berhak menolak lamaranku…
Kini tinggallah
Kakek yang memiliki pesan terakhir kepada kita dengan menyisakan sebuah
pertanyaan besar, Akankah kita mengikuti jejaknya sebagai seorang Kakek yang
merasa hidupnya tinggal beberapa saat lagi?... Merasa nyaman dengan kehidupan “Gelandangan”
dengan segudang angan yang berjungkiran tanpa mampu berbuat sedikitpun?..
Sebuah dialog yang mengandung ancaman bagi kita yang mengikuti jejaknya
KAKEK : Ah,
kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku,
kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena
rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang
terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan
berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap
irama dari kurun yang sedang berlaku.
(KEMBALI
MENGUAP) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai
selaput luarnya yang makin keras. Usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita,
semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya... dari tuna
karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi
kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP.
Apabila
kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih
dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal
bagi kemanusiaan.
(MENGUAP)
Ah, selamat malam…
Lakon
yang menginspirasiku dari seorang gelandangan kini aku mendedikasikan hidupku
untuk mengumpulkan sampah yang bisa kujual, tidak menengadahkan tangan dengan
batok kotor si Pincang dan Kakek. Kini aku lebih dikenali sebagai seorang
Ngatemin Rosok.
Special Thank’s
Teater Hampa
Indonesia